Hy Sahabat RSI, Sekarang Saya Posting Tentang " Siapa Sunan Gunung Jati?"
Nah Karena Itu Langsung Di Bahas Saja Mas BRO :D
Judul : Sunan Gunung Jati
Penulis : Fathony Effendi
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2010
Tebal : 160 halaman
Walangsungsang meninggalkan rumah setelah diusir sang ayah. Mimpi itu
begitu nyata sekaligus menarik. Putra Prabu Siliwangi ini membatin,”
kapan lagi bisa meninggalkan istana kalau bukan sekarang”.
Walangsungsang ingin menjawab teka-teki yang dilihat dalam tidurnya
malam itu.
Ia berjalan menelusuri gunung dan lembah, menembus batas siang dan malam
hingga kelelahan. Putra mahkota ini beristirahat di bawah pohon.
Jurumarta yang diutus oleh Prabu Siliwangi mendapati Walangsungsang
sedang tertidur. Ia segera membangunkan Walangsungsang dan mengajaknya
kembali ke istana.”Saya sedang mencari guru pembimbing yang dapat
mengajarkan agama Islam, seperti yang kulihat dalam mimpi”, jawab
Walangsungsang menolak. Ki Jurumarta tetap mendesak,”di Pasundan belum
ada tuanku, adanya di seberang lautan daerah Pasai”. Dialog itu tetap
alot hingga datang Danuarsih menengahi (hlm.16).
Atas saran Danuarsih, Walangsungsang belajar ilmu gaib dan kanuragan
kepada sejumlah pendeta Budha di beberapa puncak gunung. Ia juga menikah
dengan putri Danuarsih yang bernama Indangayu. Mereka berdua hidup
bahagia.
Sementara itu, Putri Rarasantang adik seibu Walangsungsang merasa
kesepian. Pada akhirnya ia memantapkan diri untuk ikut jejak sang kakak.
Cerita selanjutnya, dua saudara ini dipertemukan oleh sebuah kekuatan
ghaib.
Setelah melalui proses yang lama, Walangsungsang, istri dan Rarasantang
bertemu dengan Syekh Nur Jati di Gunung Jati. Mereka bertiga langsung
dibimbing mengucapkan syahadat. Berturut turut Syekh Nur Jati
mengajarkan rukun iman dan rukun Islam. Setelah mahir, ketiganya diutus
Syekh Nur Jati untuk berguru kepada Ki Gedeng Alang-Alang (hlm. 28-30).
Walangsungsang, Rarasantang dan Indangayu diterima oleh Ki Gedeng
Alang-alang. Mereka kemudian membabat alas untuk dijadikan ladang. Siang
hari mengurus lahan, sedangkan malamnya menangkap rebon (udang). Hingga
akhirnya daerah ini menarik orang datang demi melihat kesuburan
tanahnya dan enaknya Cai Rebon. Itulah asal-usul Cirebon.
Tanpa menunggu lama, Cirebon menjadi pedukuhan (pekuwon) yang besar.
Orang berdatang dan menetap di situ. Ki Gedeng Alang Alang menjadi Kuwu
Cirebon, wakilnya adalah Walangsungsang yang telah berganti nama menjadi
Cakrabuwana.
Kematian Ki Gedeng Alang Alang membuat Cakrabuwana naik pangkat. Ia
memerintah Cirebon secara Islam, namun tidak memaksakan agama itu kepada
orang lain. Berkat kemajuannya, Cirebon diakui sebagai sebuah desa oleh
Raja Galuh (1447). Sementara Demak baru diakui Majapahit sebagai desa
pada tahun 1478.
Tahun 1447 M, Cakrabuwana dan Rarasantang berangkat haji, Indangayu
tidak ikut serta karena baru hamil tujuh bulan. Rarasantang menemukan
jodohnya di Mekkah. Suami Rarasantang adalah seorang Sultan Mesir yang
bernama Maulana Syarif Abdullah. Setelah selesai Haji, Rarasantang
tinggal bersama suami di Mesir dan Cakrabuwana kembali ke Jawa.
Pernikahan Sultan Maulana dengan Rarasantang mebuahkan putra yang diberi
nama Syarif Hidayatullah. Kelak ketika anak ini sudah berumur 20 tahun,
ia mengembara sampai ke tanah Jawa. Di tengah perjalanan ia mendapat
banyak tantangan, gangguan dan godaan. Mulai dari manusia, jin, setan
hingga godaan duniawi. Syarif Hidayatullah mendapatkan pusaka dari
Malaikat yang mampu mengatasi segala godaan di atas. Sampailah ia di
Tanah Cirebon. Cakrabuwana yang sudah cukup tua menyerahkan kekuasaan
Cirebon pada putra Rarasantang ini.
Sunan Gunung Jati adalah nama lain dari Syarif Hidayatullah. Begitulah
yang tertulis di Babad Cirebon menurut buku ini. Di Jawa, Sunan Gunung
Jati adalah satu dari Sembilan wali yang terkenal itu. Selama menjadi
Raja Cirebon, ia berhasil memperluas wilayah dan pengaruhnya hingga
kerajaan Pajajaran terdesak.
Sebagaimana diakui penulisnya, semua cerita di atas merujuk kepada Babad
Cirebon. Sebuah babad yang kini masih jarang dikaji oleh para peneliti.
Dari sini, penulis mengajak pembaca untuk turut serta merasakan
atmosfir dakwah sang Wali yang penuh dengan aura kearifan.
Kisah Sunan Gunung Djati, Walangsungsang dan Rarasantang yang terdapat
dalam novel sejarah ini tentu saja bukan kisah sejarah dalam arti
“sejarah sebagaimana ia terjadi” (wie est eigentlich gewesen ist),
seperti kata Leopold von Ranke (Kuntowijoyo, 1995:56). Kisah dalam
Babad Cirebon masuk kategori historiografi tradisional. Unsur sejarah
lebih sedikit disbanding unsur sastra dan mitos.
Hal demikian bisa dipahami, karena historiografi tradisional dimaksudkan
untuk meneguhkan nilai-nilai budaya masyarakat yang berlaku saat naskah
ditulis. Saat ini, babad menjadi satu-satunya sumber tertulis yang
masih tersisa untuk mengkaji sejarah tradisional di Jawa. Jadi, asal
kita mampu memisahkan sejarah dan mitos, maka kisah dalam babad menjadi
fakta sejarah.
Sebagai contoh, novel ini menunjukkan keberadaan Cirebon pada masa lalu.
Sebuah kota lama yang telah maju. Dalam faktanya memang demikian, bukan
sekedar mitos. Cirebon menyimpan dengan rapi kisah-kisah perjuangan
para wali dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa.
Buku ini, sebagaimana diungkapkan penulisnya, tidak dimaksudkan sebagai
buku sejarah, tetapi novel sejarah. Artinya, pembaca diajak untuk
mereguk kearifan dan falasafah hidup dari kemuliaan para leluhur.
Terutama dari figur sentralnya, Sunan Gunung Jati.